Tergopoh2
aku menemui Mbah Maridjan, kucari tadi di rumahnya beliau tidak ada.
Setengah berlari aku menyusuri pematang sawah yang masih agak basah,
sambil sesekali menghirup aroma batang padi yang merasuk. Kata
tetangga Mbah Maridjan, beliau sering menyendiri di gubug di tengah
sawah kalau sore2 begini. Dari jauh sudah kulihat gubug kecil
beratapkan daun kelapa dan damen ( batang padi kering). Setelah
dekat, kulihat Mbah Maridjan yang sedang menyalakan rokok
lintingannya. Baunya menyengat, tetapi segar apalagi ditambah suasana
sore yang semilir.
“ Mbah,
Mbah, bagaimana ini Mbah, musibah datang silih berganti, sepertinya
sudah waktunya kita melakukan tobat nasional. Mbah Maridjan malah
tenang2 saja”
“ Musibah
itu bisa jadi rahmat, sebagaimana rahmat juga bisa jadi musibah. Ini
hanya kejadian alam biasa Le.”
“ Gimana
sih Mbah, musibah ini peringatan dari Tuhan Mbah atas dosa2 kita,
sekaligus juga ujian apakah kita tabah menghadapi musibah.”
“ Tuhan
pun tak sanggup menerima musibah, Le”
Aku
seperti ditampar langsung di otakku, apa pula maksud Mbah Maridjan
ini.
“ Hhhmm,
maksud Mbah Maridjan…?”
“ Tuhan
itu Le, baru diduakan saja sudah marah2, baru perintahnya tidak
dilaksanakan saja sudah ngirim bencana, lha piye…Tuhannya saja
nggak tabah, ciptaannya bisa lebih gak tabah lagi”
“ Sebentar2,
aku masih tidak mengerti apa maksud Mbah Maridjan.”
“ Kamu
ini pancen bodho Le, kamu ingat kisah Adam dan Hawa, yang dikeluarkan
dari surga hanya karena makan buah Khuldi yang terlarang itu, itu kan
kesalahan sepele, tapi Tuhan marah, terus Adam dan Hawa ditundung
dari surga. Terus kamu ingat kisah Iblis dan Adam, Iblis disuruh
menghormati Adam, suruh sujud di depan Adam, lha wong Iblis itu
pinter, ya dia nggak mau, dia hanya mau sujud dan hormat kepada
Tuhan, lagi2 Tuhan marah, purik, akhirnya Iblis dilaknat. Ingat
pulakah kau tentang Sodom dan Gomora, hanya karena homoseksualitas
saja seluruh kota dihancurkan. Tuhannya saja kurang dewasa, jangan
pula salahkan umatnya kalau kekanak2an. “
Aku
hanya bengong, mendengarkan tutur kata Mbah Maridjan yang mengalir
sambil mengepulkan asap rokok kretek di jari2 tangannya. Sungguh2
gila Mbah Maridjan ini, berani2nya menggoyang tahta diktatur Tuhan.
“ Aceh
sudah lebur, Jogja sudah hancur, Merapi njeblug, kita harus lebih
banyak berdoa Mbah Maridjan, supaya Tuhan mengampuni dosa2 kita.”
“
Hahahahahaha…………………..”
Mbah
Maridjan tertawa terkekeh2, sampai terbatuk2, sambil melihat dengan
pandangan lucu kepadaku.
“ Kamu
ini Le, produk jaman modern koq berpikirnya idiot kaya gitu. Kalau
banyak orang berdosa, dosa mereka kan kepada alam dan sesama manusia.
Minta ampun lah kepada alam, dengan merawat mereka dengan baik,
menjadi bagian dari alam bukan malah memperkosanya. Minta ampunlah
kepada manusia2, berhenti korupsi, bantulah para fakir miskin,
peliharalah yatim piatu, jalankan negara dengan jujur dan bersih. Itu
yang namanya mohon ampun, kalau mohon ampunnya cuma sama Tuhan, kamu
malah akan ditertawakan sama Dia.”
“ Ya,
tapi Mbah Maridjan, kita perlu pertolongan Tuhan untuk bisa lepas
dari derita ini.”
“ Percayalah
Le, Tuhan itu egois. Kita harus membantu diri kita sendiri, kamu
boleh minta tolong sampai air matamu habis, tapi kalau kamu tidak
memperbaiki dirimu sendiri, ya percuma. Lihat itu orang Jepang, kena
gempa mereka itu, tapi terus mereka belajar, bikin gedung dan rumah
yang tahan gempa. Lihat orang Belanda, kena banjir banding mereka
itu, tapi mereka bangkit, bikin dam2 raksasa, sekarang selamatlah
mereka dari petaka banjir. Lihat orang2 Eropa, dikaruniai penyakit
pes, sampai separuh penduduknya mati, tapi mereka memperbaiki diri,
dan hidup sehatlah mereka sekarang. Bencana itu untuk dipelajari,
bukan untuk disesali.”
Dongkol
hatiku bukan main sama Mbah Maridjan, dari dulu dia selalu bisa
membolak-balik perpektif. Dan dia sudah berani mempermainkan syaraf
otakku sekarang, tapi aku berusaha menguasai diriku.
“Mbah,
kita ini manusia yang egois. Tuhan telah menciptakan alam dengan
sempurna, dan menitahkan kita sebagai kalifahnya di dunia ini.
Kitalah yang telah tidak sanggup memegang amanat Tuhan itu.”
Mbah
Maridjan kembali meringis, seolah mengejek. Matanya yang kecil bulat
itu menatap jauh ke hamparan sawah di depannya.
“ Oalah
Le, kalau mau jujur sih. Karena konsep Tuhan itu diejawantahkan oleh
manusia yang egosentris, akhirnya manusia tambah kelihatan egois.
Seharusnya kau yang sekolah itu tahu hal kayak gitu, dan itu
pandangan antroposentrismu, kuno sekali cara berpikirmu Le. Manusia
itu bagian alam Le, bukan penguasa alam.”
“ Ya
biarin Mbah, pandangan antroposentris kan lebih baik daripada percaya
hal2 mistis kaya sampeyan, ada Nyi Roro Kidul, Tombak Kiai Plered,
Kebo Kiai Slamet hahahaha………., kebo koq dianggep kiai.”
“ Lho
siapa bilang Mbah percaya sama Nyi Roro Kidul, Nyi Roro Kidul itu kan
cuman mitos Le, para kawulo cilik seperti kita ini kan sering ditipu
sama para penggede2 istana. Raja2 Mataram jaman dulu malu karena di
Segoro Lor (Laut Jawa= red) mereka kalah dengan tentara Kumpeni
Walanda dan tentara Portugis, jadi mereka menghibur diri dengan
menciptakan mitos Nyi Roro Kidul, seolah2 mereka masih menguasai
Segoro Kidul (Samudra Hindia= red), memperistri penguasa Segoro
Kidul. Cilokone, kita semua percaya adanya Nyi Roro Kidul, kekuatan
pusaka2, kita ini memang bodho koq Le, wis bodho mbodhoni wong
mesisan.”
Lagi2
Mbah Maridjan bikin aku klenger, dia bilang dia tidak percaya Nyi
Roro Kidul, ngoyoworo (mengada2) saja Mbah tua satu ini.
“ Mbah,
musibah demi musibah ini menyelimuti kita, kita harus bergerak Mbah.”
“ Simbah
di sini saja Le, mengabdikan diri untuk penduduk Merapi. Kamu yang
masih muda yang harus bergerak, sadarkan orang dari tidurnya,
sadarkan orang dari sikap fatalis menghadapi musibah. Sudah sana,
belajar yang bener, santri kalau kerjaannya main PS terus ya kayak
kamu ini jadinya. Ilmune nggedabus, pangertene mbladhus. Belajar
sana bagaimana mengatur bantuan yang tepat guna dan tepat sasaran,
jangan hanya kitab kuning kau pelajari, kitab putih pun harus kau
pelajari, dan jangan lupa sekarang banyak kitab digital yang bisa
dipelajari.“
Sambil
menggerakkan tangannya menyuruh aku pergi, Mbah Maridjan merogoh
sakunya, dikeluarkannya selembar duit 50 ribu.
“ Ini
hanyalah lembaran 50 ribuan Le, kuserahkan padamu. Duit ini akan
benar2 jadi milikmu kalau kamu memberikannya kepada yang membutuhkan,
banyak itu sepanjang kaki Merapi.”
Dilemparkannya
duit itu kepadaku, aku mengambilnya sambil bingung memikirkan apa
maksud kata2 Mbah Maridjan yang terakhir tadi.
SUMBER : @ZIARAH KE MAKAM TUHAN BY M. AMIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Thanx 4 comment