Ki Mantep Sudharsono |
Nama Ki Manteb agaknya
identik dengan penampilannya yang mantap dalam memainkan wayang
kulit. Ia termasuk
dalang yang digandrungi dan laris. Jadwal pentasnya padat. Berikut
ini kisah
perjalanan spiritulanya
dalam mencari kebahagiaan yang hakiki. Terus terang, saya mendapatkan
dorongan untuk masuk
Islam dari Gatot Tetuki, anak saya yang kedua dari istri kedua.
Dahulu saya
beragama Budha.
Sebelumnya saya tidak mau masuk Islam, karena menurut saya agama itu
berat.
Saya tidak mau
ikut-ikutan. Apakah untuk menjadi seorang muslim itu harus keturunan
? Menurut
saya, menjadi muslim
itu harus diusahakan.
Demikianlah, saya harus
banyak menimbang. Barulah ketika usai menghitankan Gatot dan ia minta
diberangkatkan umrah,
hati saya mulai tersentuh. Itu saya anggap sebagai panggilan Allah.
Saya
seperti diingatkan dan
dibangunkan dari tidur panjang. Langsung saja, ajakan Gatot saya
terima.
Sesudah itu, saya
mempersiapkan diri untuk masuk Islam.
Pada hari yang telah
ditetapkan, saya mengundang Kiai Ali Darokah (Ketua MUI Solo), H.
Amir
Ngruki, H. Alwi, dan
kaum muslimin di sekitar tempat tinggal saya. Mereka saya minta
menjadi saksi
upacara pengislaman
saya.
Kemudian sesuai ajakan
Gatot, saya melaksanakan umrah pada September 1995. Alhamdulillah,
pada bulan April/Mei
1996, saya berkesempatan menunaikan ibadah haji. Banyak manfaat yang
saya
peroleh dari
pengalaman-pengalaman tersebut. Semua itu, menambahkan kedewasaan
berpikir dan
pengendalian diri.
Kejadian Aneh
Waktu beribadah haji,
saya mengalami suatu kejadian sangat aneh. Sesampai di Mekah dan akan
kembali ke Madinah,
sesudah tawaf wada' saya ingin sekali mencium Hajar Aswad. Tetapi,
mana
mungkin? Padang Mina
sudah menjadi lautan manusia yang tumplek menjadi satu.
Entah dari mana
datangnya, tiba-tiba muncul seorang anak kecil berpakaian khas Arap
ngawe-awe
(mengajak sambil
melambaikan tangan) kearah saya. Setelah saya hampiri, anak kecil itu
mengucapkan,
"Ahlan...ahlan..."(selamat datang, selamat datang, red.).
Seperti ada tarikan
kuat, saya berjalan mengikutinya. Anak itu berjalan merunduk karena
banyak
orang. Oleh anak kecil
itu, saya seperti ditunjukkan jalan. Belok kanan-kiri dan akhirnya
pas tiba di
Hajar Aswad.
Alhamdulillah, saya dapat mencium Hajar Aswad sepuasnya. Saya
menangis disitu.
Saya bersyukur sekali
atas pertolongan anak kecil itu.
Beberapa saat kemudian
saya teringat pada anak itu. Saya ingat masih mengantongi uang 50
real.
Saya berniat
memeberikan uang tersebut kepada anak kecil tadi. Tetapi begitu saya
tengok, anak
kecil tadi sudah tidak
ada. Kalau lari tidak mungkin. Sampai kini, siapa dan ke mana
perginya anak
kecil tadi masih
menjadi misteri.
Setelah memeluk Islam
dan beribadah haji, hubungan dengan siapa pun tetap baik. Demikian
pula
dengan para pengrawit
(penabuh gamelan, red) rombongan wayang kulit. Sebagian besar
pengrawit
sudah beragama Islam.
Tinggal 3 orang yang belum Islam. Dalah hal ini, saya mempersilahkan
saja
sesuai dengna keyakinan
mereka. Sebab, dalam memeluk Islam tidak boleh ada paksaan.
Merasa Tenteram
Sebelum memeluk Islam,
jika tidak mendalang seminggu saja, saya selalu merasa waswas. "Aku
nek
ra payu, piye?"
Saya kalau sudah tidak laku lagi, bagaimana? Begitu perasaan saya
ketika itu.
Alhamdulillah, sekarang
perasaan itu sudah tidak ada lagi. Saya berusaha taat shalat.
Hasilnya, saya
menjadi lebih dapat
mengendalikan diri. Saya menjadi selalu berpikir positif ke pada
Allah. Kalau
memang sudah tidak ada
rezeki lagi buat saya, tentu Allah sudah memanggil saya. Mengapa
harus
bingung? Intinya,
pikiran sudah sumeleh. Alhamdulillah, keluarga saya sudah Islam
semua.
Setelah masuk Islam,
saya merasakan hasilnya. Keluarga semakin harmonis dan tenteram.
Tidak
suka bertengkar. Tidak
ada suasana saling mencurigai. Itu yang saya rasakan dalam memeluk
agama yang baru saya
anut itu.
Beberapa kali saya
diminta mengisi pengajian oleh masyarakat. Semampunya saya penuhi.
Bukan
bermaksud menggurui,
tetapi itu kewajiban seorang muslim. Dalam pengajian, saya hanya
menceritakan sejarah
hidup saya yang dulu tidak karu-karuan, mbejujak.
Alhamdulillah, ada
beberapa orang yang akhirnya mengikuti jejak saya, yaitu masuk Islam.
Ketika
berlangsung pengajian,
ada jamaan yang bertanya, apa kalau ceramah saya mendapatkan uang
saku? Dengan jujur saya
jawab tidak. Sebab, kalau mau cari-cari uang, itu sudah saya dapatkan
dari
mendalang.
Setelah menjadi muslim,
saya harus lebih banyak belajar dalam mendalami Islam. Dalam hal ini,
dirumah saya di Karang
anyar, setiap bulan sekali saya selalu mendatangkan mubalig, seperti
Kiai Ali
Darokah, H.Amir, H.
Alwi dan yang lainnya, untuk memberikan pengajian kepada masyarakat.
Setelah itu, saya
teruskan dengan pentas wayang yang selalu saya sisipi dengan
pesan-pesan
dakwah. Saya memang
terobsesi oleh metode dakwah Wali Songo yang menjadikan wayang kulit
sebagai media dakwah.
Sumber:http://www.mualaf.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Thanx 4 comment